33. AL-HALIM
33. AL-HALIIM (الحليم)
1. Definisi dan Makna
"Al-Halim"
Pengertian "Al-Halim" Secara
Bahasa dan Istilah
Secara bahasa, "Al-Halim"
berasal dari kata Arab "حليم" yang berarti
penyantun, sabar, dan lembut hati. Dalam konteks sifat Allah,
"Al-Halim" menunjukkan bahwa Allah adalah Zat yang Maha Penyantun,
yang tidak segera memberikan hukuman atas dosa dan kesalahan manusia, melainkan
memberikan waktu bagi hamba-hamba-Nya untuk bertobat dan memperbaiki diri.
Makna "Al-Halim" dalam Konteks
Sifat Allah
"Al-Halim" adalah salah satu
dari Asmaul Husna yang menunjukkan kelembutan Allah dalam menghadapi kesalahan
hamba-hamba-Nya. Sifat ini menggambarkan Allah sebagai Dzat yang tidak
terburu-buru dalam menghukum, meskipun hamba-Nya melakukan kesalahan berulang
kali. Allah dengan penuh kesabaran menunda hukuman agar manusia memiliki
kesempatan untuk bertobat dan kembali kepada-Nya. Sifat "Al-Halim"
ini juga menunjukkan kasih sayang Allah yang luar biasa, di mana Dia tetap
memberikan rezeki dan nikmat-Nya meskipun hamba-Nya berbuat dosa. Sifat ini
mendorong manusia untuk mengembangkan sikap sabar, penyantun, dan tidak mudah
marah dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana Allah yang Maha Penyantun
terhadap hamba-hamba-Nya.
2. Al-Halim dalam Al-Quran
A. Ayat-Ayat yang Menyebutkan Al-Halim
Sifat "Al-Halim" disebutkan
dalam beberapa ayat Al-Quran yang menekankan kelembutan dan kesabaran Allah
dalam menghadapi kesalahan dan dosa manusia. Beberapa di antaranya adalah:
1.
Surah
Al-Baqarah (2:225):
"Allah
tidak menghukum kamu karena sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu karena sumpah-sumpah yang kamu sengaja.
Maka kaffaratnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin, dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau
memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian,
maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu
apabila kamu telah bersumpah. Dan jagalah sumpah-sumpahmu. Demikianlah Allah
menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu bersyukur."
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak
terburu-buru menghukum hamba-Nya atas kesalahan yang tidak disengaja. Dia
adalah "Al-Halim," yang memberikan kesempatan untuk bertobat dan
memperbaiki diri.
2.
Surah
Al-Ahzab (33:51):
"Kamu
boleh menangguhkan (giliran) menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara
mereka (istri-istrimu) dan (boleh pula) kamu menggauli siapa yang kamu
kehendaki. Dan siapa saja yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari
perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu
lebih dekat supaya mereka senang dan tidak bersedih hati dan supaya mereka
semua rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah
mengetahui apa yang tersimpan dalam hatimu; dan adalah Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Penyantun (Al-Halim)."
Ayat ini mengilustrasikan bahwa Allah
mengetahui isi hati manusia dan dengan sifat-Nya yang "Al-Halim," Dia
memberi waktu dan ruang bagi manusia untuk menyadari kesalahan mereka dan
bertobat.
3.
Surah
Al-Isra' (17:44):
"Langit
yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak
ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian
tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha
Pengampun (Al-Halim)."
Di ayat ini, Allah menunjukkan bahwa
meskipun manusia sering lalai dalam menjalankan kewajiban mereka, Allah tetap
bersifat "Al-Halim," yang tidak langsung memberikan hukuman tetapi
memberikan kesempatan untuk kembali kepada-Nya.
B. Penjelasan Tafsir Ayat-Ayat Terkait
1.
Tafsir
Surah Al-Baqarah (2:225):
Ayat
ini memberikan pemahaman bahwa Allah Maha Pengampun dan tidak akan menghukum
hamba-Nya atas sumpah yang tidak disengaja. Allah memahami kelemahan manusia
dan memberikan kemudahan bagi mereka. Tafsir ini menekankan pentingnya menjaga
sumpah dan berusaha untuk tidak mengingkarinya, tetapi juga menyoroti sifat
Allah yang Maha Penyantun dan penuh kasih sayang.
2.
Tafsir
Surah Al-Ahzab (33:51):
Tafsir
dari ayat ini mengungkapkan bagaimana Allah memahami kompleksitas hubungan
manusia, khususnya dalam konteks keluarga. Sifat "Al-Halim" dalam
ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan kelonggaran dan memahami kelemahan
manusia dalam membuat keputusan. Tafsir ini juga menekankan bahwa keputusan
manusia seharusnya didasarkan pada pertimbangan kasih sayang dan kerelaan.
3.
Tafsir
Surah Al-Isra' (17:44):
Ayat
ini menunjukkan bahwa seluruh alam semesta bertasbih kepada Allah, meskipun
manusia sering kali tidak menyadari hal tersebut. Tafsirnya menjelaskan bahwa
sifat "Al-Halim" Allah terlihat dalam bagaimana Dia tetap memberikan
nikmat dan rezeki meskipun manusia sering lalai dalam mengingat-Nya. Allah
memberi waktu bagi manusia untuk kembali sadar dan bertaubat sebelum Dia
memberikan hukuman.
Sifat "Al-Halim" yang
tercermin dalam ayat-ayat ini menunjukkan betapa besar kesabaran dan kasih
sayang Allah kepada hamba-Nya, memberikan kesempatan bagi manusia untuk
menyadari kesalahan mereka dan memperbaiki diri sebelum menghadapi hukuman yang
lebih berat.
3. Manifestasi Sifat Al-Halim dalam
Kehidupan
A. Kesabaran dan Toleransi sebagai
Wujud Sifat Al-Halim
Sifat "Al-Halim" dalam
kehidupan sehari-hari tercermin melalui sikap sabar dan toleran dalam menghadapi
berbagai situasi yang menantang. Berikut beberapa contoh penerapan sifat
"Al-Halim":
1.
Menghadapi
Provokasi dengan Kesabaran:
Dalam
kehidupan sosial, tidak jarang seseorang menghadapi situasi di mana orang lain
mencoba memprovokasi atau memancing emosi. Meneladani sifat
"Al-Halim," seorang Muslim seharusnya merespon dengan kesabaran dan
tidak terburu-buru membalas dengan kemarahan. Misalnya, saat menghadapi kritik
yang tidak adil, seseorang bisa memilih untuk tetap tenang, mendengarkan dengan
penuh perhatian, dan merespons dengan bijak.
2.
Toleransi
dalam Perbedaan Pendapat:
Perbedaan
pendapat sering kali menjadi sumber konflik, baik dalam keluarga, masyarakat,
maupun tempat kerja. Sifat "Al-Halim" mengajarkan kita untuk bersikap
toleran terhadap perbedaan, menghargai pandangan orang lain, dan mencari jalan
tengah tanpa memaksakan kehendak. Contoh nyatanya adalah berdiskusi dengan
orang lain yang memiliki pandangan berbeda, namun tetap menjaga etika
komunikasi dan tidak memaksakan pandangan sendiri.
3.
Kesabaran
dalam Menghadapi Kesulitan:
Dalam
menghadapi berbagai ujian dan cobaan hidup, sifat "Al-Halim"
mendorong seseorang untuk tetap sabar dan tidak berputus asa. Ketika menghadapi
kesulitan finansial, kesehatan, atau masalah keluarga, seorang Muslim yang
meneladani sifat "Al-Halim" akan tetap bersabar, yakin bahwa setiap
kesulitan akan disertai kemudahan, dan terus berusaha memperbaiki keadaan.
B. Kelembutan dalam Menghadapi
Kesalahan
Manusia sering kali dihadapkan pada
situasi di mana orang lain membuat kesalahan, baik disengaja maupun tidak
disengaja. Meneladani sifat Allah yang Maha Penyantun, berikut cara bagaimana
manusia bisa menerapkan kelembutan dalam menghadapi kesalahan:
1.
Memberi
Kesempatan untuk Memperbaiki Diri:
Ketika
seseorang melakukan kesalahan, alih-alih langsung memberikan hukuman atau
teguran keras, seorang Muslim bisa mencontoh sifat "Al-Halim" dengan
memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk memperbaiki diri. Misalnya,
seorang atasan yang mendapati bawahannya melakukan kesalahan dalam pekerjaan
dapat memilih untuk memberikan nasihat dan kesempatan kedua, daripada langsung
memberikan sanksi berat.
2.
Menghindari
Kemarahan yang Berlebihan:
Kemarahan
adalah reaksi alami manusia ketika menghadapi kesalahan orang lain, tetapi
sifat "Al-Halim" mengajarkan kita untuk mengendalikan emosi tersebut.
Ketika anak atau rekan kerja melakukan kesalahan, seorang Muslim bisa menahan
diri dari amarah berlebihan, berbicara dengan nada lembut, dan memberikan
masukan yang konstruktif.
3.
Memaafkan
dengan Ketulusan:
Sifat
"Al-Halim" juga tercermin dalam kemampuan untuk memaafkan kesalahan
orang lain dengan tulus. Ketika seseorang menyadari kesalahan yang telah
diperbuat dan meminta maaf, penting bagi kita untuk meneladani Allah yang Maha
Penyantun dengan memberikan maaf dan melupakan kesalahan tersebut, tidak
menyimpannya dalam hati atau mengungkitnya di kemudian hari.
4.
Mendampingi
dalam Perbaikan Diri:
Dalam
beberapa kasus, orang yang melakukan kesalahan mungkin memerlukan bimbingan dan
dukungan untuk memperbaiki diri. Meneladani sifat "Al-Halim," seorang
Muslim dapat berperan sebagai pendamping yang sabar, membantu orang tersebut
belajar dari kesalahan dan berkembang menjadi lebih baik, seperti guru yang
mendidik muridnya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
Dengan menerapkan sifat
"Al-Halim" dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menciptakan
lingkungan yang lebih harmonis, penuh kasih sayang, dan saling pengertian,
serta mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Penyantun.
4. Teladan Nabi Muhammad SAW sebagai
Cerminan Sifat Al-Halim
A. Kisah-Kisah dari Kehidupan Nabi
Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW adalah teladan
terbaik dalam meneladani sifat "Al-Halim." Kehidupannya penuh dengan
kisah-kisah yang menggambarkan kelembutan dan kesabaran yang luar biasa, bahkan
dalam situasi yang sulit. Berikut beberapa kisah yang menunjukkan sifat
tersebut:
1.
Kisah
Perempuan Yahudi yang Selalu Menghina Nabi:
Ada
seorang perempuan Yahudi di Madinah yang selalu melemparkan kotoran dan sampah
kepada Nabi Muhammad SAW setiap kali beliau melewati rumahnya. Namun, Nabi
tidak pernah marah atau membalas perbuatannya. Suatu hari, perempuan itu jatuh
sakit, dan Nabi pun menengoknya dengan penuh kelembutan dan perhatian.
Perbuatan ini membuat perempuan tersebut terkesan dan akhirnya memeluk Islam.
Kisah ini menunjukkan betapa sabarnya Nabi dalam menghadapi perlakuan buruk dan
betapa lembutnya beliau dalam merespons kebencian dengan kasih sayang.
2.
Peristiwa
di Thaif:
Ketika
Nabi Muhammad SAW pergi ke Thaif untuk berdakwah, penduduk Thaif menolak ajakan
beliau dengan sangat kasar, bahkan melempari beliau dengan batu hingga terluka.
Meski terluka dan dihina, Nabi tidak membalas mereka dengan doa keburukan.
Sebaliknya, beliau berdoa kepada Allah agar penduduk Thaif diberi hidayah dan
pengampunan. Doa dan sikap Nabi ini adalah cerminan dari sifat
"Al-Halim," yang menunjukkan kesabaran luar biasa dalam menghadapi
penolakan dan kesulitan.
3.
Pengampunan
pada Fathu Makkah:
Saat
Nabi Muhammad SAW dan pasukan Muslim memasuki Makkah pada saat Fathu Makkah,
beliau memiliki kekuasaan penuh untuk membalas dendam atas segala penganiayaan
yang dilakukan oleh penduduk Makkah terhadap dirinya dan para sahabat. Namun,
Nabi SAW memilih untuk memaafkan semua penduduk Makkah dengan lembut, tanpa
menuntut balas. Beliau berkata, "Tidak ada celaan atas kalian pada hari
ini. Pergilah, kalian semua bebas." Sifat pemaaf dan kelembutan Nabi
ini menunjukkan bagaimana beliau meneladani sifat Allah yang Maha Penyantun,
"Al-Halim."
B. Penerapan Sifat Al-Halim dalam
Dakwah dan Interaksi Sosial
Nabi Muhammad SAW selalu menerapkan
sifat "Al-Halim" dalam dakwahnya dan interaksi sosial, baik dengan
sahabat, keluarga, maupun masyarakat luas. Berikut adalah bagaimana beliau
menerapkan sifat ini:
1.
Kelembutan
dalam Berdakwah:
Dalam
menyampaikan risalah Islam, Nabi Muhammad SAW selalu melakukannya dengan
kelembutan, sabar, dan penuh kasih sayang. Beliau tidak pernah memaksa orang
untuk memeluk Islam, melainkan mendakwahkan ajaran dengan cara yang hikmah dan
memberi contoh yang baik. Sebagai contoh, dalam dakwah kepada penduduk Makkah,
meskipun mereka sering kali menolak dan menyakiti beliau, Nabi tetap berdakwah
dengan cara yang penuh kelembutan, menjelaskan kebenaran dengan bijaksana dan
memberikan mereka waktu untuk memahami ajaran Islam.
2.
Menghadapi
Sahabat dengan Sabar:
Nabi
Muhammad SAW juga menunjukkan kesabaran yang luar biasa dalam membimbing para
sahabat. Ketika sahabat melakukan kesalahan atau menunjukkan kelemahan, Nabi
tidak langsung menegur dengan keras, melainkan memberikan nasihat dengan cara
yang penuh kelembutan. Misalnya, ketika seorang sahabat yang masih baru dalam
Islam mengerjakan shalat dengan cara yang salah, Nabi tidak langsung
memarahinya, melainkan mengajarinya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
3.
Interaksi
dengan Masyarakat yang Beragam:
Nabi
Muhammad SAW hidup dalam masyarakat yang sangat beragam, dengan berbagai suku,
agama, dan kebudayaan. Dalam berinteraksi dengan mereka, Nabi selalu
menunjukkan sifat "Al-Halim" dengan bersikap adil, sabar, dan
menghormati perbedaan. Beliau mencontohkan bagaimana seorang Muslim seharusnya
bersikap lembut dan penyantun dalam interaksi sosial, tanpa memandang latar
belakang orang lain.
4.
Memelihara
Hubungan Keluarga dengan Kasih Sayang:
Dalam
hubungan keluarga, Nabi Muhammad SAW juga menerapkan sifat
"Al-Halim." Beliau selalu memperlakukan istri-istrinya dengan
kelembutan dan kesabaran, serta mendidik anak-anak dengan penuh kasih sayang.
Nabi tidak pernah bersikap kasar atau terburu-buru dalam menegur anggota
keluarganya, melainkan selalu memberikan bimbingan dengan cara yang lembut.
Sifat "Al-Halim" yang
diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa kelembutan, kesabaran,
dan kasih sayang adalah kunci dalam mencapai keberhasilan dalam dakwah dan menjaga
harmoni dalam interaksi sosial. Dengan meneladani sifat ini, umat Muslim dapat
menjadi pribadi yang lebih baik dan membawa manfaat bagi masyarakat sekitarnya.
5. Implikasi Sifat Al-Halim dalam
Pendidikan dan Pembentukan Karakter
A. Pendidikan Karakter Berbasis Sifat
Al-Halim
Pendidikan karakter yang
mengintegrasikan sifat "Al-Halim" adalah pendekatan yang menekankan
pentingnya kesabaran, toleransi, dan kelembutan dalam proses belajar-mengajar.
Berikut adalah beberapa cara untuk mengimplementasikannya:
1.
Pengajaran
dengan Kesabaran:
Guru
yang meneladani sifat "Al-Halim" akan mendekati setiap siswa dengan
kesabaran, memahami bahwa setiap anak memiliki kemampuan dan kecepatan belajar
yang berbeda. Dalam kelas, guru bisa menghindari teguran keras atau hukuman
yang berlebihan, dan sebagai gantinya, memberikan bimbingan yang penuh
pengertian dan dukungan.
2.
Lingkungan
Belajar yang Inklusif:
Pendidikan
berbasis sifat "Al-Halim" mendorong terciptanya lingkungan belajar
yang inklusif dan penuh toleransi. Setiap siswa, tanpa memandang latar
belakangnya, dihargai dan diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang.
Pendekatan ini mengajarkan siswa untuk saling menghormati perbedaan, baik dalam
pemikiran, agama, maupun budaya.
3.
Model
Pembelajaran yang Mengedepankan Kelembutan:
Dalam proses pembelajaran, sifat "Al-Halim" bisa diterapkan dengan
menggunakan metode pengajaran yang mengedepankan dialog, diskusi, dan
penyelesaian masalah dengan cara yang lembut. Hal ini dapat membantu mengurangi
stres dan kecemasan di kalangan siswa, serta mendorong mereka untuk berpikir
kritis dan kreatif tanpa rasa takut akan kegagalan.
4.
Pendidikan
Moral yang Mengajarkan Kasih Sayang:
Kurikulum
yang didasarkan pada sifat "Al-Halim" juga akan mengintegrasikan
nilai-nilai moral seperti kasih sayang, pengampunan, dan kelembutan hati. Siswa
diajarkan untuk tidak hanya mengejar prestasi akademik, tetapi juga
mengembangkan karakter yang mulia, dengan meneladani sifat Allah yang Maha
Penyantun.
B. Pembentukan Karakter Sabar dan Lemah
Lembut
Sifat "Al-Halim" sangat
berperan dalam pembentukan karakter sabar dan lemah lembut pada diri seseorang.
Berikut adalah bagaimana sifat ini dapat membentuk karakter tersebut:
1.
Pengembangan
Kesabaran dalam Menghadapi Tantangan:
Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang sering kali menghadapi berbagai
tantangan, baik itu dalam belajar, bekerja, atau berinteraksi dengan orang
lain. Dengan meneladani sifat "Al-Halim," individu dapat belajar
untuk bersikap sabar, tidak terburu-buru dalam membuat keputusan, dan
menghadapi setiap tantangan dengan pikiran yang tenang. Misalnya, saat
menghadapi kegagalan, seseorang yang meneladani sifat "Al-Halim" akan
berusaha untuk tetap tenang, merenungkan apa yang dapat dipelajari dari
kegagalan tersebut, dan terus berusaha tanpa putus asa.
2.
Kelembutan
dalam Berinteraksi dengan Orang Lain:
Sifat
"Al-Halim" mendorong seseorang untuk bersikap lemah lembut dalam
berinteraksi dengan orang lain. Hal ini tidak hanya menciptakan hubungan yang
harmonis, tetapi juga membantu dalam penyelesaian konflik dengan cara yang
damai. Misalnya, dalam sebuah perdebatan atau ketidaksepakatan, individu yang
meneladani sifat ini akan lebih memilih untuk mendengarkan dengan penuh
pengertian, dan merespon dengan kata-kata yang lembut dan penuh empati,
daripada merespon dengan kemarahan atau sikap defensif.
3.
Membangun
Ketahanan Emosional:
Sifat
"Al-Halim" juga membantu dalam membangun ketahanan emosional. Orang
yang meneladani sifat ini cenderung lebih mampu mengendalikan emosi mereka,
tidak mudah tersinggung, dan dapat menghadapi situasi yang menegangkan dengan
kepala dingin. Misalnya, dalam menghadapi kritik atau provokasi, seseorang yang
telah menginternalisasi sifat "Al-Halim" akan lebih mampu menahan
diri dari reaksi yang impulsif dan merespon dengan cara yang lebih bijaksana.
4.
Penerapan
dalam Pendidikan Anak:
Dalam
konteks keluarga, orang tua yang meneladani sifat "Al-Halim" akan
mendidik anak-anak mereka dengan penuh kesabaran dan kelembutan. Mereka tidak
akan tergesa-gesa dalam memberikan hukuman ketika anak-anak melakukan
kesalahan, tetapi lebih memilih untuk memberikan nasihat dan bimbingan yang
membantu anak-anak memahami kesalahan mereka dan belajar darinya. Hal ini
membantu anak-anak mengembangkan karakter yang sabar dan lemah lembut sejak usia
dini.
Dengan menerapkan sifat
"Al-Halim" dalam pendidikan dan pembentukan karakter, individu dapat
tumbuh menjadi pribadi yang sabar, lembut, dan penuh kasih sayang, yang tidak
hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat sekitarnya.
6. Kesimpulan
A. Relevansi Sifat Al-Halim dalam
Kehidupan Modern
Sifat "Al-Halim" tetap
sangat relevan dan memiliki aplikasi yang luas dalam kehidupan modern. Di era
yang serba cepat dan penuh dengan tekanan seperti sekarang, sifat ini dapat
menjadi penyeimbang yang membawa kedamaian dan harmoni dalam berbagai aspek
kehidupan:
1.
Menghadapi
Konflik Sosial dan Politik:
Dalam
konteks sosial dan politik yang sering kali penuh dengan konflik dan
ketegangan, sifat "Al-Halim" mengajarkan kita untuk bersikap sabar
dan toleran. Hal ini sangat penting dalam menjaga perdamaian dan menyelesaikan
perselisihan dengan cara yang damai dan penuh pengertian.
2.
Manajemen
Stres dan Ketenangan Batin:
Dalam
kehidupan pribadi, sifat "Al-Halim" dapat membantu seseorang
mengelola stres dan menjaga ketenangan batin. Ketika dihadapkan pada tekanan
pekerjaan, masalah pribadi, atau tantangan lainnya, sikap sabar dan lemah
lembut dapat membantu seseorang tetap tenang dan tidak terbawa oleh emosi
negatif.
3.
Pendidikan
dan Pembentukan Karakter:
Di
dunia pendidikan, sifat "Al-Halim" berperan penting dalam membentuk
karakter siswa yang sabar, toleran, dan penuh kasih sayang. Nilai-nilai ini
sangat penting untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara
intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan moral.
4.
Interaksi
dalam Keluarga dan Masyarakat:
Dalam
interaksi sehari-hari, baik dalam keluarga maupun masyarakat, sifat
"Al-Halim" mengajarkan kita untuk bersikap lembut dan penuh
pengertian. Hal ini membantu menciptakan hubungan yang harmonis dan mendukung
kehidupan sosial yang lebih damai dan produktif.
B. Penutup
Sifat "Al-Halim" adalah
salah satu dari Asmaul Husna yang mengajarkan kita pentingnya kesabaran,
kelembutan, dan toleransi dalam kehidupan. Dalam pembahasan ini, kita telah
melihat bagaimana sifat ini termaktub dalam Al-Quran, diteladani oleh Nabi
Muhammad SAW, dan diterapkan dalam pendidikan serta pembentukan karakter.
Menghayati dan meneladani sifat
"Al-Halim" tidak hanya mendekatkan kita kepada Allah SWT, tetapi juga
membantu kita menjadi individu yang lebih baik, mampu menghadapi tantangan
hidup dengan kesabaran, dan menciptakan hubungan yang harmonis dengan orang
lain. Semoga pembahasan ini menginspirasi kita semua untuk terus
menginternalisasi dan mengamalkan sifat "Al-Halim" dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga kita dapat hidup dengan lebih damai, bijaksana, dan penuh
kasih sayang.
ASMAUL HUSNA GURU BAKHIET
الحليم: الذي لا يعجل بالعقوبة على العصاة.
ALHALIM adalah nama Allah yang ke-33. Al-Halim maksudnya adalah
Allah melihat para hambanya bermaksiat dan melanggar larangan-Nya, namun Allah
tidak bersegea untuk menyiksa dan mengazabnya. Walaupun Allah mampu dan
berkuasa pada hal tersebut.
Dengan nama ALHALIM inilah maka dunia masih ada sampai sekarang.
Seandainya Allah tidak bernama ALHALIM maka dunia akan hancur dikarenakan ulah
manusia tersbeut.
وَلَوْ
يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَّا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَاۤبَّةٍ
وَّلٰكِنْ يُّؤَخِّرُهُمْ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا
يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ
Dan kalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya
tidak akan ada yang ditinggalkan-Nya (di bumi) dari makhluk yang melata
sekalipun, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai waktu yang sudah ditentukan.
Maka apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan
sesaat pun.
Jika Allah menindak manusia karena kezaliman merka , maka tidak
dizinkan satu orangpun berada di atas bumi.
Tidak ada Bahasa yang ringkas dan tepat untuk mengungkapkan arti
dari pada ALHALIM ini.
Di dalam al-Qur’an ada beberapa kali Allah menyebutkan nama-Nya
ALHALIM. Diantaranya :
قَوْلٌ
مَّعْرُوْفٌ وَّمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّنْ صَدَقَةٍ يَّتْبَعُهَآ اَذًى ۗ وَاللّٰهُ
غَنِيٌّ حَلِيْمٌ
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah
yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun.
﴿لَّا
يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا
كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ﴾
[ البقرة:
225]
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang
disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun. [Baqarah: 225]
Dengan nama ALHALIM, Allah Swt tidak langsung menindak bagi orang
yang durhaka kepadanya, bahkan para malaikatpun di perintahkan oleh Allah swt
untuk tidak langsung mencatat dosa tersebut sampai enam jam kemudian. Jika
dalam waktu enak jam itu, ia bertaubat maka diampuni dosanya oleh Allah Swt.
Jika enam jam belum taubat juga maka tidak langsung di siksa oleh Allah Swt.
Sebaliknya dengan perbuatan baik. Walaupun baru hanya sekedar niat saja, sudah
langsung di catat satu pahala kebaikan oleh Allah Swt.
Jika orang memahami makna nama Allah ALHALIM ini maka akan
bertambah cintanya kepada Allah Swt. Karena ia mengetahui sangat besarnya kasih
sayang Allah Swt terhadap hamba-hambanya sehingga Allah tidak langsung menyiksa
dari pada kesalahan – kesalahan yang dilakukan hambanya, akan tetapi masih
diberi kesempatan untuk memperbaiki dirinya, maka kecintaanya semakin bertambah
kepada Allah sedangkan orang-orang yang lemah imannya maka dengan mengetahui
nama Allah ALHALIM ini ia bertambah berani kepada ALLAH Swt.
Sesudah kita mengetahui bahwa Allah ALHALIM, maka kita wajib
berakhlak dengan Akhlak ALLAH ALHALIM ini, umpama ada orang yang menyakiti atau
menggunjing atau mengganggu kita, sikap kita tidak lepas dari tiga hal:
Pertama, kalau kita orang hina maka kita akan marah
Kedua, kalau kita termasuk orang ABRAR, kita marah dalam hati dan tidak
menampakkan kemarahannya.
الَّذِينَ
يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.
Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,
Ketiga, kalau kita termasuk orang yang HALIM, maka kita akan marah
apalagi membalasnya.
Yang ketiga inilah sikap orang yang benar benar beriman kepada
Allah dengan nama ALHALIM. Karena ia menganggap orang yang menganiaya atau menyakiti
itu hanya orang bodoh atau jahil, kalau dibalas maka akan sama jahatnya.
Sedangkan Allah terhadap hambanya yang maksiat kepadanya dibiarkan saja untuk
mengakui kesalahan dan untuk memohon ampun kepada-Nya. Berarti kalau kita marah
maka kita lebih hebat dari pada Allah.
Jadi kalau termasuk kelompk orang yang rendahan, atau yang pertama,
maka kita akan marah, maka kita harus berupaya untuk menjadi yang kedua, yaitu
kaziminal ghaidha/ orang yang menaham amarah, apabila ia sudah terbiasa makai
akan naik ketingkat yang ketiga yaitu tahapan yang paling afdhal, yaitu sifat
ALHALIM.
Imam Ali berkata : “Bukanlah sesuatu yang baik itu banyak harta
atau banyak anak, yang baik itu banyak ilmu dan besar rasa HILMnya dan jangan
berbangga dengan manusia karena banyak ibadah kepada Allah. Kalau engkau
berbuat baik maka pujilah Allah dan kalau berbuat jahat mintalah ampun kepada
Allah swt”.
Bisakah kita langsung bersifat HILM padadahal kita orang yang suka
marah? Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا
الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ وَمَنْ يَتَحَرَّ
الْخَيْرَ يُعْطَهُ وَمَنْ يَتَّقِ الشَّرَّ يُوْقَهُ
"Ilmu hanya didapatkan dengan belajar dan hilm (kesabaran dan
ketenangan) hanya didapatkan dengan melatih diri. Barangsiapa yang berusaha
mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memberikannya dan barangsiapa yang
berusaha menghindari keburukan, maka Allah akan menjauhkannya. (Lihat Shahihul
Jami' hadits no. 2328)
Untuk mencapai sifat HILM maka harus diupayakan berTAHALLUM dengan
menahan marah sehingga akhirnya menjadi sifat HILM tesebut menjadi kebiasaan
atau tabiat.
Cara
membandingkannya dan mempelajarinya yaitu bahwa Allah yang menciptakan kita,
yang memelihara jug amemberi rizki seluruh manusia, jika kita maksiat atau
tidak patuh kepadanya, Allah tidak langsung marah dan menyiksa. Sedangkan kita
dengan orang lain, kalau ada yang menantang kita, apa jasa kita terhadap mereka
sehingga kita MARAH? Allah saja yang memberi mereka rizki tidak langsung marah.
Imam zainal
abidin adalah salah satu orang yang bersifat HILM. Suatu ketika beliau di caci
maki oleh orang, begitu sampai kepada beliau kabar tersebut, beliau berkata:
Miskin Fulan karena ia tidak tahu. Kemudian ia menitipkan sorban dan baju
kepada orang yang telah mencacinya tersebut.
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «ابتغوا الرفعة
عند الله» قالوا: وما هي يا رسول الله؟ قال: «تصل من قطعك وتعطي من حرمك وتحلم عمن
جهل عليك»
Nabi s.a.w.
bersabda: “Carilah kedudukan tinggi di sisi Allah.” (1) Mereka bertanya:
“Dengan apa, ya Rasūlullāh?” Beliau menjawab: “Menjalin hubungan dengan orang
yang telah memutuskannya denganmu, membagi kepada orang yang tidak pernah
memberi kepadamu, dan sabar terhadap orang yang berbuat jahil kepadamu.”
Memang ada
orang yang diberi Allah sifat HILM ini dari kecil, tapi kebanyakan orang HILM
itu di dapat dengan berTAHALLUM, yaitu melatih diri dengan peangai HILM. JIka
kita sudah terbiasa berperilaku HILM di rumah tangga minimal maka kita sudah
menjadi orang yang mulia di sisi Allah.
Di akherat
kelak Allah memberi perumpaan orang orang bakal masuk surga, maka berdiri
sedikit dari mereka. Kemudian diperintahkan mereka masuk surga tanpa hisab.
Mereka kemudian di tanya: apakah mereka melewati sirathul mustaqim?, mereka menjawab:
kami tidak tahu sirathul mustaqim. Ditanya lagi, apakah kalian malaikat? Mereka
menjawab: tidak!, kami hanya manusia. Maka di tanya lagi: kenapa kalian masuk
surga denga begitu cepatnya? Salah seorang menjawab bahwa aklak kami adalah
HILM.
Di dalam
tahriqoh, salh stau kewajiban orang menjalankannya yaitu memaksakan diri
melatih dirinya untuk menjadi orang hilim. Apabila ada hal-hal yang bisa
membuat marah maka ambil dengan sikap yang baik dengan TAHALLUM atau berusaha
untuk HILIM, sehingga akhirnta bertabiat HILIM.
Namu terkadang
ada saatnya untuk mengambil Tindakan untuk memberi peringatan dan mendidik.
كان
من دعائه: اللهم اغنني بالعلم، وزيني بالحلم، وكرمني بالتقوى، وجملني بالعافية.
Antara doa
Baginda: Ya Allah! Kayakanlah aku dengan ilmu, hiasilah aku dengan kelembutan,
muliakanlah aku dengan taqwa dan indahkanlah aku dengan kesejahteraan.
Komentar
Posting Komentar