37. "Al-‘Ali"
37. "Al-‘Ali"
Makna dari nama
Allah "Al-‘Ali" adalah "Yang Maha Tinggi". Penjelasan dari
nama ini adalah bahwa Allah adalah Zat yang tidak ada kedudukan atau derajat
yang lebih tinggi dari-Nya. "Al-‘Ali" berarti Yang Maha Tinggi atau
yang memiliki derajat yang melampaui atau lebih tinggi dari segala sesuatu.
Jangan kita
memaknai "Maha Tinggi" ini dengan ketinggian secara fisik, seperti
tinggi benda-benda seperti pohon atau lainnya, atau tinggi tempat seperti di
atas langit atau di atas ‘Arsy. Keyakinan semacam itu berarti menganggap Allah
sebagai benda, seperti paham Mujassimah (mereka yang menyerupakan Allah dengan
makhluk). Yang dimaksud "Maha Tinggi" di sini adalah ketinggian
derajat Allah.
Untuk lebih
memahami maksud dari "Maha Tinggi" ini, kita harus mengerti bahwa
dalam segala sesuatu terdapat yang disebut "musabbab" (akibat), ada
yang disebut "sebab", dan ada yang disebut "musabbib"
(penyebab). Sebagai contoh, rasa kenyang. Kenyang adalah akibat (musabbab),
sedangkan makanan adalah sebab, dan yang menyebabkan rasa kenyang adalah Allah.
Di antara tiga
hal tersebut, yang paling tinggi tentu adalah "musabbib" atau yang
menyebabkan segala sesuatu, yaitu Allah yang Maha Tinggi (Al-‘Ali). Dialah yang
menjadi penyebab dari segala akibat, termasuk rasa kenyang itu sendiri.
Contoh lain
seperti anak, dia adalah musabbab (akibat), dan kedua orang tua merupakan sebab
bagi adanya anak, sedangkan yang menciptakan anak dan orang tua adalah musabbib
(penyebab). Kedudukan musabbib ini yang disebut sebagai "Al-‘Ali"
atau Yang Maha Tinggi. Dalam Al-Qur'an, Allah menyebut diri-Nya sebagai
Al-‘Ali, dan setiap kali menyebut nama ini, selalu dikaitkan dengan ketinggian
dan kebesaran sesuatu agar tidak disangka bahwa sesuatu itu yang paling tinggi.
Di ujung ayat, Allah menyebut nama-Nya, Al-‘Ali. Salah satu contohnya adalah
firman Allah:
"Wasi‘a
kursiyyuhus-samawati wal-ardha wa la ya‘uduhu hifzuhuma wa
huwal-‘Aliyyul-‘Azim."
Artinya:
"Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan Dia tidak merasa berat
memelihara keduanya, dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung."
Dalam ayat ini,
Allah juga membicarakan tentang derajat manusia. Ada yang menjadi pemimpin, dan
ada pula yang menjadi rakyat, dan derajat pemimpin lebih tinggi. Ada orang tua
dan ada anak, dan orang tua memiliki derajat yang lebih tinggi. Ada suami dan ada
istri, dan suami yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari istri.
Setelah Allah
menyebutkan manusia yang memiliki derajat tinggi, Allah menyebut diri-Nya
dengan nama Al-‘Ali:
"Sesungguhnya
Allah adalah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Artinya,
keputusan atau hukum apapun yang lebih tinggi derajatnya dari kita, jika
bertentangan dengan keputusan atau hukum Al-‘Ali, maka kita tidak boleh
mematuhinya.
Keputusan
manusia yang lebih tinggi derajatnya, baik itu pemimpin, orang tua, atau suami
terhadap istri, jika bertentangan dengan keputusan Allah, maka kita tidak boleh
mentaatinya. Firman Allah dalam Surat An-Nisa' yang artinya:
"Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan akan berbuat nusyuz (durhaka), maka nasihatilah mereka
dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari alasan untuk
menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Dalam ayat ini,
Allah berbicara bahwa kedudukan seorang suami lebih tinggi dari istri, namun di
atas derajat suami yang tinggi ada yang lebih tinggi lagi, yaitu Allah, dan
suami pun harus tunduk kepada hukum Allah yang lebih tinggi.
Pengertian
durhaka seorang istri ada dua, yaitu secara umum dan ada yang terkait atau
tergantung kondisi. Contoh yang umum adalah seperti seorang istri yang keluar
rumah tanpa izin suaminya, maka istri tersebut dianggap durhaka, baik suaminya
mampu mencukupi kebutuhan istri atau tidak.
Adapun durhaka
istri yang terkait dengan keadaan, seperti seorang istri yang tidak mau
melayani suaminya, ini bisa membuat istri menjadi durhaka apabila suami sudah
mencukupi semua kebutuhan yang wajib dipenuhi untuk istrinya. Jika suami belum
menunaikan kewajiban-kewajibannya untuk mencukupi istri, dan istri tidak mau
melayani suaminya, maka itu tidak disebut sebagai durhaka.
Dalam ayat di
atas disebutkan, jika kamu melihat wanita itu durhaka, maka nasihatilah dia.
Jika setelah dinasihati masih durhaka, maka pisahkanlah tempat tidurnya. Dan
jika masih juga, baru dipukul (pukulan yang sekadar tanda marah, dengan
bijaksana dan tanpa menyakitinya). Jika mereka sudah berhenti, maka jangan
mencari-cari kesalahan untuk menjatuhkannya.
Di sini, Allah
memberi peringatan bahwa suami tidak boleh bertindak semaunya, sekalipun diberi
kedudukan dengan derajat yang lebih tinggi. Namun, ia harus tunduk kepada Yang
Maha Tinggi.
Allah Maha
Tinggi dan Maha Besar, tidak ada satu pun kedudukan yang lebih tinggi dari
kedudukan Allah, karena Dia-lah yang menyebabkan segala sesuatu. Walaupun ada
makanan, jika tidak ada yang menyebabkan kekayaan, tentu sebab (makanan) itu
tidak ada artinya.
Tingginya
derajat menunjukkan tingginya hukum dan keputusan, tetapi itu tidak berarti
bahwa kedudukan atau derajat seorang pemimpin atau suami lebih tinggi daripada
Allah.
Orang tua pun
jika sudah bertentangan dengan keputusan hukum Allah yang Maha Tinggi
derajat-Nya.
Apabila kita
sudah beriman dengan nama Allah Al-‘Ali (yang Maha Tinggi derajatnya
dalam hukum dan keputusan-Nya), maka kita dituntut untuk menjadikan diri kita
sebagai orang yang memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah. Sedangkan
makhluk hanya memiliki dua derajat, yaitu derajat sebagai sebab dan sebagai
yang disebabkan.
Jika kita
menjadi yang disebabkan, maka kita menjadi orang yang rendah, dan jika kita
menjadi sebab, maka kita menjadi orang yang tinggi. Jadikanlah diri kita
sebagai "sebab untuk kebaikan" (sebab dari segala kebaikan) bagi
makhluk Allah.
Seseorang belum
dinilai sebagai orang yang tinggi derajatnya, meskipun pandai membaca
kitab-kitab, selama belum menjadi orang yang mampu menjadikan dirinya
sebagai sebab bagi orang lain untuk mendapatkan derajat yang tinggi di sisi
Allah. Seorang ahli ibadah tidak bisa dikatakan sebagai orang yang
tinggi derajatnya di sisi Allah jika belum mampu menjadikan dirinya sebagai sebab
bagi orang lain untuk beribadah. Sabda Rasulullah ﷺ:
"Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan
pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka
sedikit pun."
Membantu seribu
orang dengan satu kebaikan, seperti amal membaca "Qul Huwa Allahu
Ahad" dan lainnya, kita akan mendapatkan pahala seribu orang tanpa
berkurang sedikit pun. Atau jika seorang Muslim mampu memenuhi kebutuhan,
kemudian karena sebab kita, kebutuhan Muslim tersebut diterima, maka kita akan
menjadi orang yang tinggi di sisi Allah.
Siapapun yang
ingin kebutuhannya dikabulkan oleh Allah, hendaklah ia terlebih dahulu memenuhi
kebutuhan saudaranya. Sabda Rasulullah ﷺ: "Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya yang
Muslim, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya." Artinya: Siapa yang
berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya yang Muslim, maka Allah yang akan
memenuhi kebutuhannya.
Orang-orang
saleh terdahulu sering melakukan hal ini. Apabila mereka memiliki kebutuhan
yang besar kepada Allah, mereka terlebih dahulu mencari-cari saudara yang
membutuhkan, dan mereka memenuhinya. Setelah kebutuhan saudaranya terpenuhi,
maka mereka menjadi orang yang tinggi derajatnya di sisi Allah. Allah tidak
akan menerima kebutuhan kita sampai kita terlebih dahulu memenuhi kebutuhan
saudara kita.
Kemudian
setelah kita berusaha menjadi orang yang tinggi di sisi Allah, kita juga
dituntut untuk menjaga diri agar tidak menjadi orang yang rendah di sisi-Nya.
Orang yang rendah derajatnya di sisi Allah adalah orang yang menjadi sebab dari
kejahatan dan kemaksiatan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah.
Artinya:
"Siapapun yang menyebabkan orang lain melakukan kemaksiatan, maka ia akan
mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya tanpa berkurang
sedikit pun." Setiap kali orang melakukan dosa yang dicontohkannya, ia pun
akan mendapatkan bagian dari dosa itu. Atau jika seseorang memberikan fasilitas
atau jalan (alat) bagi orang lain untuk berbuat dosa, maka ia juga akan
mendapatkan dosa karena menjadi sebab atau memberikan fasilitas tersebut. Dan
Allah lebih mengetahui yang benar.
Komentar
Posting Komentar